
Edhy Prabowo mengenakan rompi tahanan KPK sebagai tersangka korupsi
Jumat, 27 Nov 2020 15:00 WIB
Jakarta -
Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan praktik suap perizinan eksport benur lobster (25/11) sesungguhnya berdimensi dua. Seperti dikatakan ahli hukum tata negara UGM Zainal Arifin Mochtar, dimensi yang pertama publik harusnya memberikan gemuruh tepuk tangan. Sebab, satu praktik korupsi di lingkaran elite pemerintahan dapat terungkap.
Dimensi yang kedua, publik harusnya bersedih. Penangkapan ini menyiratkan bahwa fungsi pencegahan korupsi dan pengawasan dalam sistem pemerintahan kita tidak berjalan. Namun demikian, ada satu pertanyaan yang tak kalah penting, apakah KPK dengan ini bangkit lagi?
Bila menengok kembali ke belakang, UU 19/2019 tentang KPK telah menyulut protes keras dari masyarakat anti-korupsi. Konstruksi KPK yang baru sekaligus komisioner KPK seolah-olah menguras perasaan publik bahwa masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan tanpa mengandalkan KPK (Liddle, 2019; Mochtar, 2020).
Dimensi yang kedua, publik harusnya bersedih. Penangkapan ini menyiratkan bahwa fungsi pencegahan korupsi dan pengawasan dalam sistem pemerintahan kita tidak berjalan. Namun demikian, ada satu pertanyaan yang tak kalah penting, apakah KPK dengan ini bangkit lagi?
Bila menengok kembali ke belakang, UU 19/2019 tentang KPK telah menyulut protes keras dari masyarakat anti-korupsi. Konstruksi KPK yang baru sekaligus komisioner KPK seolah-olah menguras perasaan publik bahwa masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan tanpa mengandalkan KPK (Liddle, 2019; Mochtar, 2020).
Di tengah-tengah pesimisme publik itu, KPK tampaknya hendak menampiknya dalam dua peristiwa. Yang paling awal adalah penanganan kasus suap eks komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sedang yang kedua adalah penangkapan Edhy Prabowo tersebut. Meski demikian, catatan tebal untuk kasus yang pertama belum mampu dihapus. Penyuap Wahyu Setiawan yakni Harun Masiku hingga saat ini tak bisa ditemukan ujung hidungnya, seakan-akan lenyap tak terlacak.
Seharusnya, KPK dengan dengan segala sumber daya dan kewenangannya tidak akan kesulitan untuk menangkap Harun Masiku. Ada kewenangan untuk berkoordinasi dengan aparat penegak hukum yang lain. Ada kewenangan untuk melakukan extraordinary law enforcement seperti penyadapan maupun tindakan intelejen. Lagi-lagi, persoalannya barangkali terletak pada political will pimpinan KPK dan pemerintah terkait.
Berkaitan dengan penangkapan KPK yang kedua, hal yang dinantikan publik sesungguhnya adalah kualitas proses penanganan perkara yang tuntas dan profesional. Aktor-aktor yang terlibat mesti diungkap. Nuansa politik yang pekat dalam kasus ini tidak boleh menjadi variabel dalam penegakan hukum. Bila KPK mengeja kasus ini dengan terbata-bata, maka publik harus menerima bahwa KPK masih berada sejengkal dari tubir kematiannya.
Penyusunan Kebijakan
Bila tidak ada api, maka tidak akan ada asap. Oleh sebab itu, kita tidak boleh melihat kasus korupsi ekspor benur lobster ini hanya dari ujungnya saja. Tetapi juga pada proses penyusunan kebijakan tersebut, efektivitas tindakan pencegahan KPK, bahkan lebih jauh lagi pada mekanisme rekrutmen menteri sebagai pembantu presiden.
Pertama, sejak awal, diskursus ekspor benur lobster ini menuai silang pendapat di ruang publik. Sebagian pihak menyatakan bahwa benur lobster seharusnya tidak diekspor sebelum mencapai ukuran dan usia tertentu. Sebab, nilai ekonomis lobster jauh lebih kecil ketika dijual dalam bentuk bibit. Sementara pihak yang lain mengargumentasikan bahwa penjualan benur lobster ini akan menguntungkan dan menghidupkan nelayan kecil dan pembudidayanya.
Sayangnya, penyusunan kebijakan termasuk eksekusinya kurang mengedepankan prinsip keterbukaan. Kritikan yang mengemuka adalah banyaknya anggota partai politik tertentu yang terlibat dalam kebijakan ini. Dugaan bahwa kebijakan ini menguntungkan sekelompok elit tertentu pun makin menguat dan tak dapat dihindarkan.
Kedua, arahan presiden dalam penguatan hukum dan agensi pemberantasan korupsi juga harus diterjemahkan oleh seluruh jajaran menteri ke dalam setiap kebijakannya. Memang, faktor tarik-menarik politik dalam penentuan kursi menteri menjadikan presiden tidak lega dalam mengaplikasikan standarnya. Termasuk dalam hal komitmen pemberantasan korupsi.
Padahal, konstitusi telah menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan hak prerogatif presiden. Dengan berdiri di atas hukum dan kepentingan publik, presiden sebenarnya tak perlu ragu untuk menentukan pembantunya dalam pemerintahan.
Ketiga, KPK juga sesungguhnya dalam Arah Kebijakan tahun 2020 memberikan prioritas besar dalam bidang pencegahan. Terdapat istilah "pencegahan terintegrasi" pada sektor-sektor strategis pembangunan nasional. Pencegahan ini ditempuh dengan melakukan koordinasi dan pengawasan pada instansi pemerintah, mengadakan kerjasama multilateral, sekaligus juga perbaikan kualitas pelayanan publik. Namun demikian, kasus ini seketika menandakan bahwa program strategi pencegahan terintegrasi belum terealisasi secara optimal.
Fokus pada Strategi
Alih-alih menepis pesimisme publik, KPK hendaknya berfokus pada strategi anti-korupsi yang berlandaskan pada tiga faktor (Quinones, 2003). Masing-masing adalah political will dan kepemimpinan yang kuat, penegakan hukum yang berkeadilan, dan prinsip keterbukaan.
Political will ini dapat hadir ketika para pengemban kekuasaan menyadari bahwa korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan. Ada rakyat yang menderita secara langsung di sana. Hal ini dapat kita ketahui tatkala pengemban kekuasaan secara serius melakukan penguatan sistem hukum pemberantasan korupsi. Mulai dari norma atau dasar hukum agensi pemberantasan korupsi, personalianya, serta konstruksi kelembagaan dan kewenangannya.
Faktor yang terakhir adalah penegakan hukum anti-korupsi mesti dilakukan secara transparan agar publik dapat mengawalnya. Fakta yang harus kita hadapi saat ini adalah UU 19/2019 tentang KPK telah berlaku. Banyak kelemahan di dalamnya. Tetapi selama pengemban kekuasaan memiliki political will pemberantasan korupsi yang kuat, maka dengan hukum yang buruk sekalipun KPK dapat bangkit lagi.
Umar Mubdi pegiat dan pengamat hukum, alumni Master di Collegium Civitas Polandia
Sumber : detikNews
LEAVE A REPLY