SEMBOYAN BERBAGAI SUKU DI LUHAK KEPENUHAN
Makna kata "semboyan" pada konteks ini diartikan sebagai jati diri atau identitas yang melekat pada suku yang bersangkutan. Sejarah telah menggoreskan mengapa semboyan tersebut bisa melekat pada suku nan sepuluh. Berdasarkan cerita para orang tua atau masyarakat Kepenuhan dengan cerdik pandainya, dari sepuluh suku yang ada, dipastikan hanya tujuh di antaranya yang dapat dipaparkan.
Suku Yang tujuh tersebut adalah Suku Melayu, Suku Moniliang, Suku pungkuik, Suku Kandang Kopuh, Suku Mais, Suku Kuti, dan Suku Ampu. Sedangkan untuk suku yang Tiga Piak ,yaitu Suku Bangsawan, Suku Anak Raja-raja, dan Suku Nan Soratus, belum memiliki semboyan sebagai tanda dari jati diri yang mereka miliki. Namun demikian, masyarakat Kepenuhan tahu dengan sendirinva akan identitas lain yang melekat pada suku Tiga Piak ini, yaitu Suku Bangsawan dari keturunan raja, suku Anak Raja-raja dari kaum atau dari pejabat kerajaan atau dalam masyarakat Kepenuhan dikenal dengan sebutan Punggawa Kerajaan. Sedangkan Suku Nan Seratus adalah pesuruh raja atau dapat juga dikatakan sebagai pembantu raja.
Ungkapan kata semboyan yang dimaksud di sini juga mengandung pengertian sifat yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota suku tersebut. Dalam kenyataan kehidupan keseharian, kita dapat membedakan asal suku mereka atau membedakan suku berdasarkan semboyan atau tingkah laku dalam pergaulannya. Inilah hebatnya identitas yang melekat pada berbagai suku tersebut. Lebih jelasnya bagaimana bunyi semboyan tersebut maka dapat disimak berbagai paparan di bawah ini.
Suku Melayu
Contiang Melayu
Contiang adalah bahasa Kepenuhan, dan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai orang yang memiliki sifat netral ketika menghadapi segala permasalahan kehidupan. Arti lain yang dimilikinya adalah orang yang mempunyai kepintaran, kecerdasan, namun tidak menunjukkan kesombongan atas apa yang menjadi kelebihannya. Karena memiliki berbagai sifat ini, maka Suku Melayu dipercayakan oleh suku nan sepuluh untuk memimpin Kerapatan Adat Luhak Kepenuhan.
Suku Moniliang
Godang Kato Uwang Moniliang
Sifat yang melekat pada suku ini dari semboyannya adalah mereka selalu merasa tinggi, hebat, mampu, dan segala sifat yang membuat mereka menjadi percaya diri berhadapan dengan siapa pun. Dalam kenyataannya semua sifat tersebut hanya lengket pada kulitnya saja, namun kemampuan mereka ini membuat mereka menjadi orang yang disegani oleh suku yang lain. Godang kato lebih diartikan pada segala ungkapan atau perbuatan suku ini (sifat). Mereka pada dasarnya tidak memiliki kemampuan namun mereka tetap menyanggupi dari segala apa yang menjadi perbuatan atau tindak tanduk mereka. Semoga. Dalam bahasa Kepenuhan akan dapat didengarkan yaitu "....mmmhh, godang kato bang ko". Ungkapan tersebut terucap karena melihat sifat dari, tingkah laku mereka.
Suku Pungkuik
Dukung Tobalik Anak Uwang Pungkuik,. Dek Nak Copek Anak Tingga
Sifat yang melekat pada suku ini adalah mereka memiliki banyak aktivitas dalam kerapatan adat dan selalu memperhatikan kepentingan orang banyak, seperti bersifat menolong, membantu atau sebagainya. Namun sayang, karena terlalu asyik melakukan suatu aktivitas, terkadang mereka nyaris lupa akan tanggung, jawabnya sebagai kepala keluarga atas anak dan kemenak mereka.
Suku Kandang Kopuh
Baik Budi Uwang Kanang Kopuh
"Mokcik! Silih lu boreh so cupak, bisuk kami ganti, Makcik..! Jee nak lai kami punyo boreh do nak, aa umah Aluk itu lai,..! Artinva, "Makcik! Pinjamkan kami beras satu cupak (1 ½ Liter), besok kami kembalikan, Makcik...! kami tak punya beras nak, tapi di rur Datuk itu ada.../" jawab orang Suku Kandang Kopuh
Dialog di atas adalah sebagai contoh dalam kehidupan keharian dalam Suku Kandang Kopuh, yaitu mereka melakukan sesuatu seolah-olah orang lain yang berbuat baik, tapi sebenarnya mereka lah yang berbuat baik kepada orang lain. Mereka ini selalu memberikan jalan keluar yang sangat memuaskan apabila ada seseorang memerlukan bantuannya. Mereka akan menunjukkan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi orang yang meminta bantuan tersebut sesuai dengan keinginan yang meminta bantuan.
Suku Mais
Sayang dianak Bak Uwang Maih
Alkisah ayahnya suku mais dan ibunya suku melayu. Anaknya dikenal cerdas, arif dan bijaksana, melihat anaknya seperti itu sang ayah memenuhi segala sesuatu yang menjadi keinginan anaknya. Pada suatu ketika sianak ini akan diangkat menjadi datuk Bendara Sakti, namun dalam pengangkatan tersebut kurang syaratnya yaitu tanjak untuk penutup kepalanya belum disiapkan, maka dengan bijak siayah karena sayang pada anaknya lalu bendera tunggul adatnya dipotong untuk dijadikan tanjak penutup kepala anaknya. Oleh karena itulah makanya bendera tunggul suku mais ini lebih pendek dari tunggul suku lainnya.
Menurut cerita dan tradisi sampai sekarang apabila perkawinan antara suku mais dengan melayu banyak yang serasi dan langgeng keluarganya.
Kikik Kodek Uwang Mais Monyama Sodang Makan
Kikik kodek dapat diartikan sifat yang kurang baik diluhak Kepenuhan, artian dalam bahasa Indonesianya kikir atau pelit. Pada dasarnya kikik disini merupakan sifat yang sangat tinggi sekali perhitungannya, mereka tidak mau sembarangan memberikan sesuatu kepada orang lain bahkan cenderung menghindar bila dimintai pertolongan/bantuan.
Monyama sodang makan merupakan konotasi bahwa orang mais sangat tinggi sekali perhitungannya untuk makanpun mereka bekerja sambil makan baru membuat lauk-pauk yang akan dimakan, ini menunjukkan mereka tidak mau semuanya sia-sia atau terbuang begitu saja, jadi biarlah sedang makan membuat sambal guna tau berapa jumlah yang akan dihabiska.
Suku Ampu
Longkok Dolok Anak Ampu Nasi Masak Panggilan Pulang
Pada umumnya sifat yang paling menonjol dari Suku Ampu adalah orangnya cepat naik pitam (cepat marah) dalam menghadapi apa pun yang menjadi pekerjaannya. Gaya bicaranya pun menampakkan sifat ini. Meskipun memiliki maksud yang baik kepada lawan bicaranya, tapi gaya bicaranya tetap lantang dan keras, Suatu waktu bahkan sempat mengakibatkan bentrok secara fisik. Sifat kedua yang dimiliki suku ini adalah bahasa sindiran yang mampu membuat seseorang atau siapapun ikut dengan apa yang disampaikannya.
Sebagai contoh dapat dicermati ungkapan ketika mereka akan makan bersama keluarganya dan bersamaan pada waktu itu ada tamu yang berkunjung ke rumahnya. "Assalamu'alaikum". ucap tamu yang datang. "Wa'alaikum salam", balas anggota keluarga itu. Sebelum tamu itu sampai ke dalam rumah, merekapun berucap kepada sang tamu, "Nak saya dengar ibunu memanggil agar kamu pulang secepatnya. Coba dengarkan itu!"
Sumber : Buku yang berjudul Sejarah dan Adat Istiadat Masyarakat Kepenuhan