Pucuk
Monyoncang putuih, mongobek oek
(Menyencang putus, mengikat erat)
Pucuk Suku ko, dalam adat tompek Datuk Tungkek botanyo, bokoba apo-apo hal yang tojadi dalam sukunyo. Datuk Pucuk ko lah yang bisa momutuihkan dan momatahkan. Dalam potatah potitihnyo monyoncang putuih moikek oek, monyolosaikan yang kusuik, monjonehkan yang kouh, dalam sopuluh suku bokojo samo nan ompek di balai, disaksikan imam nan ompek. Itub hak Pucuk Suku.
(Pucuk Suku ini, dalam adat tempat para Datuk dan Tungkek bertanya, memberikan kabar apa saja hal-hal yang terjadi dalam sukunya. Dalam potatah potitihnya, menyencang putus mengikat erat, menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang keruh. Dalam sepuluh suku bekerja sama dengan Empat Besar di Balai dan disaksikan Imam yang empat. Itulah hak Pucuk Suku.
Dalam struktur adat, Pucuk merupakan pemimpin tertinggi dalam suku. Dengan demikian, Pucuk adalah posisi penentu dalam pengambilan keputusan dalam sukunya. Pucuk akan mengambil suatu kebijakan bila ada laporan dari Tungkek (lihat pembahasan Tungkek) tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan adat. Jika sudah sampai pada tingkat Pucuk, berarti Tungkek merupakan bawahan Pucuk. Pada tahap Tungkek, seseorang belum dapat menentukan atau mengambil suatu kebijakan dalam suku.
Potatah potitih sebagaimana tersebut di atas menunjukkan kebesaran Pucuk, baik dalam suku maupun sebagai anggota Kerapatan Adat Luhak Kepenuhan. Hal itu sesuai dengan wewenang dan tugasnya sebagai berikut.
Sebagai anggota kerapatan, berwenang :
Membuat suatu aturan
Menghapus suatu aturan
Menyempurnakan suatu aturan yang ada tanpa menghilangkan Adat Sedio Lamo, Adat Jo Agamo, dan Adat Istiadat.
Hal ini sesuai dengan potatah potitih yang menyatakan, "Adat unciang pusako tajam. Diganyak layu, diubah mati, disalai botuneh".
Maksud dari potatah potitih di atas adalah bahwa segala sesuatu yang dibahas secara seksama, selalu mempertimbangkan segala hal yang terjadi. Pucuk Suku atau pimpinan dalam suku yang sepuluh, bermusyawarah dengan seluruh anak kemenakan, termasuk Mamak dari anak sang Datuk. Keputusan dalam musyawarah tersebut dilaksanakan pada tingkat Datuk. Sedangkan dalam pelaksanaan berbagai agenda adat tadi, sama dengan pada tingkatan lainnya. Yang berbeda hanyalah pada tingkat Datuknya atau pimpinannya.
Menubie Selasa (selasar)
Yang dimaksud dengan selasa di sini bukan nama hari sebagaimana menyebutkan hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Yang dimaksud dengan selasa di sini adalah suatu tempat yang dipersiapkan oleh yang punya hajatan dalam kegiatan keadatan di Luhak Kepenuhan. Bahannya terbuat dari kayu sebagai pancang dari tiangnya berlantai papan, dan beratap untuk pelindung dari hujan dan panas. Sedangkan pengikat dari semua yang tersebut di atas terbuat dari Kayu Aka (kayu yang diproses sedemikan rupa sehingga menjadi tali). Namun saat ini, tali dari Kayu Aka tersebut sudah sulit didapatkan, diganti dengan tali rapia. Sedangkan dinding penutup selasa tersebut adalah dain niur atau daun kelapa yang masih ada pelepahnya. la digantung di setiap batasan pancangan kayu tiangnya. Pada saat ini, dinding selasa juga sudah mulai berubah, digantikan dengan kain panjang.
Keberadaan Pucuk dalam menjalankan tugasnya tidak saja menyangkut urusan dalam (intern) suku, namun juga dalam urusan keluar (ektern). Jika ada persoalan dalam suku mereka, maka Pucuk memiliki andil yang besar dalam sukunya, sampai urusan tersebut dapat terselesaikan. Pucuk dalam adat Luhak Kepenuhan dipanggil dengan Datuk. Apabila ia tidak dapat menghadiri suatu undangan maka dapat diwakilkan kepada Tungkek.
Tungkek
"Gambar Tungkek ko ibaratkan uang tuo lah bo Tungkek lamo iduik banyak nan tosuo, sosuai dengan adat kito tompek Mamak/Induk botunnyo Kalaulah ado kejadian dalam sukunyo, Datuk Tungkek ko lah yang akan monyolosaikan sosuai dengan potatah potitih olun to gubuih in molantai, olun untuk inyolah monungkek. Kalau Tungkek momaok obah maka untuhlah umah, kalau paga makan tanaman artinyo mako usakluh kosatuan dan kemajuan dalam adat awak."
"Gambaran Tongkat ini ibaratkan orang tua yang telah menempuh hidup, banyak yang telah ditemukan, sesuai dengan potatah potitih adat kita tempat Mamak/Induk bertanya. Kalaulah ada kejadian dalam sukunya, Datuk Tungkek inilah yang akan menyelesaikan sesuai dengan potatah potith adat belum jatuh dia sudah melantai, belun runtuh dia sudah menyangga, kalau Tungkek Mamak ada perselisihan maka runtuhkah rumah, kalau pagar makan tanaman artinya maka rusaklah kesatuan dan kemajuan dalam adat kita."
Dalam suatu pemerintahan, Tungkek yang ada dalam adat Luhak Kepenuhan dipanggil dengan Datuk. Kedudukannya sama dengan wakil. Tugas dan wewenang Tungkek adalah sebagai Polapih, artinya sebagai wakil Pucuk dalam menjalankan roda kesukuan. Namun menurut adat Luhak Kepenuhan, Tungkek selalu mengadakan kontrol ke seluruh Induk yang ada dalam suku tersebut. Apakah berupa kunjungan ke Induk atau menghadiii undangan dari salah satu Induk dalam suku, termasuk dalam membicarakan segala hal.
Di sini dapat dilihat, bahwa Tungkek memiliki posisi kontrol dalam urusan kesukuan, yakni pemersatu dalam sukunya. Antara Tungkek dan Induk harus ada komunikasi secara rutin hingga pada tingkat Mato Buah Poik. Jika hal ini berjalan maka akan tercipta suatu tatanan keharmonisan dalam suku mereka dan dapat menjadi contoh untuk suku lainnya dalam menjalankan keadatan. Di sini dapat disimpulkan, bahwa tugas Tungkek lebih difokuskan dalam lingkungan sukunya. Kecuali ada pelimpahan wewenang dari Pucuk untuk urusan dalam maupun luar suku.
Untuk tingkatan Tungkek, tidak semua atau kesepuluh suku memiliki Tungkek. Yang ada tingkatan Tungkek hanya suku nan tujuh dan salah satu dari Tigo Piak, sehingga menjadi delapan, yakni dapat dilihat dibawah ini :
1. Suku Melayu dengan gelar Saih Paduko
2. Suku Moniliang dengan gelar Datuk Montao Mudo
3. Suku Kandang Kopuh dengan gelar Datuk Mangkuto Sindo
4. Suku Pungkuik dengan gelar Datuk Mangkuto Intan
5. Suku Mais dengan gelar Datuk Uwang Kayo Mudo
6. Suku Kuti dengan gelar Datuk Mangkuto Sutan
7. Suku Ampu dengan gelar Datuk Bonao Mudo
8. Suku Nan Soatuih dengan gelar Datuk Majo Lelo
Sedangkan suku dalam Tiga Piak yang lain, yaitu suku Bagsawan dan Suku Anak Raja-raja, sampai buku ini diselesaikan belum ada tingkatan Tungkek.
Induk
Mamak yang bokopak leba, bo amai panjang.
(Mamak yang bersayap lebar dan berbulu panjang)
"Gambar umah ko lah ibaratkan dalam adat awak, tompek awak bermusyawarah Mamak dengan anak komonakan, sosuai dengan hutang piutang adat, apabilo cowai boai anak komonakan awak mako inyo dituntuik dengan umah adat sobuah."
"Gambaran rumah inilah dalam adat kita, tempat kita bermusyawarah Mamak dengan anak kemenakan, sesuai dengan hutang piutang adat, apabila cerai berai anak kemenakan kita maka dia dituntut dengan sebuah rumah."
Potatah potitih ini merupakan tugas dan fungsi dari Induk Arti bokopak leba sebagai Induk merupakan suri tauladan dari memiliki kemampuan keilmuan yang dapat memberikan rasa kenyamanan dan keutuhan dalam menjalankan keadatan.
Sedangkan makna bo amai panjang adalah Induk akan selalu turun ke lapangan melihat kondisi atau menanyakan kondisi anak kemenakannya. Di samping itu kemampuannya juga telah teruji.
Pada tingkat ini, anak kemenakan akan mendapatkan perlindungan, pengawasan, dan tempat bertanya tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan adat. Kata Mamak merupakan panggilan oleh adat untuk jabatan setingkat Induk. Mamak inilah yang selalu memperhatikan anak kemenakannya, sebagaimana potatah potitih adat, anak dipangku, kemenakan dijinjing.
Harapan anak kemenakan dari potatah potitih adat tersebut bukan sekedar kiasan atau pemanis bahasa yang ditunjukkan oleh Mamak. Namun memiliki pengertian yang sangat mendalam dimana Mamak betul-betul memperhatikan segala sesuatu yang berkenaan dengan anak kemenakannya. Memperhatikan bukan saja melihat atau mendengarkan berita dari orang lain, tetapi adalah memahami dan menghayati atas jabatan yang dipangkunya. Dengan begitu anak kemenakan merasakan hangatnya akan adat yang menjadi pedoman hidup mereka dalam bermasyarakat.
Akan menjadi sesuatu yang tercela bagi adat apabila Mamak hanya bangga dengan gelar yang dimilikinya, dijadikan kesombongan dan kepongahan terhadap masyarakatnya sendiri. Sementara itu ia tidak menyadari bahwa gelar itu bukan untuk dibanggakan, tetapi merupakan amanah yang dipertanggung-jawabkan terhadap sesama manusia dan terhadap llahi. Inilah sebenarnya hakikat dari perjalanan tugas yang diemban oleh Mamak dalam adat.
Di samping itu, tugas Mamak adalah Poatak. Maksudnya adalah bahwa Induk sangat lebih bijak dalam membina regenerasi unruk masa yang akan datang. Alih regenerasi ini sangat penting ditunjuk ajarkan oleh Induk dalam suku, karena pergantian dalam pejabat adat sampai detik ini masih menggunakan sonik bo gele.
Di samping itu, untuk menjaga keserasian dan keutuhan dalam suku, khususnya dalam kepemimpinannya, Mamak harus selalu memberikan arahan dan binbingan keadatan kepada anak kemenakan, Bahkan jika perlu diadakan pertemuan rutin sabagai upaya siraman keilmuan kepada anak kemenakan.
Jika ini berhasil, maka poatak tadi sudah dapat dijalani dengan baik oleh Mamak atau Induk dalam suku, Posisi Induk langsung berhadapan dengan anak kemenakan, tanpa perantara. Dalam suatu suku biasanya memiliki jumlah Induk yang berbeda, ada yang berjumlah delapan, tujuh, enam, dan ada yang hanya lima Induk dalam sukunya.
Mengurus anak kemenakannya merupakan bagian dari tugas Induk. Keberadaan Induk adalah suatu kebutuhan. Di awal tulisan ini sudah disebutkan, bahwa suku di Luhak Kepenuhan tidak akan pernah bertambah, jadi yang bertambah adalah pada dataran Induk dan Mato Buah Poik.
Mengapa namanya Induk dan berapa jumlah dalam suatu Induk tidak disebutkan secara jelas Induk dalam suku bersebut baru akan berkembang apabila:
Wilayah tugas Induk semakin luas, dalam hal ini jumlah anak kemenakan sudah menyebar namun masih di wilayah Kepenuhan.
Jika betul dibutuhkan, maka dibicarakan pada tingkat Tungkek dengan mengkaji batua adat dan silsilah keturanan secara baik, termasuk dengan Induk yang bersangkutan Sedangkan keputusan akhir tentang keberadaan Induk ada pada tingkat Pucuk.
Sebelum sampai pada keputusan membentuk sebuah induk dalam suatu daerah maka Induk dibantu oleh Mato Buah Puik dalam menyiapkan segala sesuatunya.
Dalam pembentukan Induk harus sesuai dengan poin 2 di atas. Sebelumnya harus dilakukan pengkajian dan penelaahan secara mendalam, apakah dibutuhkan pembentukan Induk atau Mato Buah Poik.
Dengan demikian, fungsi Induk adalah mengadakan pendekatan dengan anak kemenakan, kapan dan di mana pun berada Bukan hanya pendekatan namun lebih jauh adalah memberikan bimbingan dan arahan keadatan serta tata cata kehidupan. sehingga anak kemenakan paham akan pentingnya adat dan fungsi adat dengan baik. Bila kedua belah pihak memahami keadatan, di sinilah letak keharmonisan adat itu.
Mengenai jumlah kepala keluarga dalam suatu Induk dapat diperkiran 50 kepala keluarga atau lebih, namun bisa juga kurang dari jumlah tersebut, Menyangkut jumlah kepala keluarga tersebut tidak dapat dipersentasekan berapa, karena kajian berdasarkan garis keturunan dalam Induk itu sendiri dan kebutuhan suatu Induk.
Jika Mamak yang memimpin Induk mampu memimpin, maka keberadaan Induk tetap bertahan. Jika demikian, anak kemanakan akan mendapatkan perlindungan dan pengawasan serta dapat menanyakan segala sesuatu tentang adat. Mamaklah yang selalu memperhatikan anak kemanakan.
Mato Buah Poik
Pada dasarnya Mato Buah Poik memiliki tugas membantu tugas Induk, yaitu Poagih. Artinya, adalah menggambarkan dekatnya dengan anak kemenakan selalu memberikan yang terbaik, baik secara moril maupun sprituil, sehingga akan mendatangkan hubungan yang harmonis.
Hubungan harmonis tercipta karena anak kemenakan yang dibina tersebut adalah Buah Poik dari omak atau ibu. Dengan demikian dapat dikenal lebih jauh segala aktivitas dan kegiatan atau segala sesuatu dalam keluarga,
Jumlah Mato Buah Poik dalam satxi Induk tidak begitu banyak, tergantung kebutuhan dalam Induk, Biasanya ada dua atau tiga Mato Buah Poik. Jumlah ini ditentukan merupakan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut.
Jumlah kemenakan dari suatu Induk sudah meluas
Mungkin dirasa perlu dibentuk suatu Ma to Buah Poik untuk membantu kesehariannya, karena jangkauan pembinaan tidak dapat secara efektif dilakukan.
Pemahaman untuk membentuk Mato Buah Poik baru tidak seperti membalikkan telapak tangan, namun harus melihat dulu dari garis keturunan dan batua yang ada sesuai dengan aturan keadatan di Luhak Kepenuhan. Ini membutuhkan beberapa lama baru dapat dibentuk Mato Buah Poik.
Mamak Hukum
Istilah Mamak Hukum jarang dipakai dalam adat Luhak Kepenuhan, karena fungsi dan tugasnya tidak banyak. Mamak Hukum merupakan struktur terendah yang ada dalam tatanan adat di Luhak Kepenuhan. Tugasnya yaitu pada keluarga pihak ibu sekandung. Mamak Hukum memiliki peran untuk menyelesaikan atau mengayomi. Wewenang tugasnya di dalam keluarga.
Apabila suatu permasalahan dapat diselesaikan oleh Mamak Hukum, maka dapat dikatakan, bahwa Mamak Hukum tidak perlu menyampaikan permasalahan itu kepada Mato Buah Poik Sebaliknya, apabila Mamak Hukum tidak mampu menyelesaikan masalah dalam keluarganya, maka yang harus dilakukannya adalah menyampaikan kepada Mato Buah Poik. Jika pada tingkat ini belum mengalami perkembangan yang berarti., maka dilanjutkan pada tingkat berikutnya, yaitu Induk, Tungkek, dan Pucuk, sehingga permasalahan itu dapat terselesaikan.
Mengenai pembagian tugasnya itu banyak di antara anak kemenakan, Mamak dan Datuk tidak mengetahuinya. Hal ini disebabkan kurangnya pengarahan dari pejabat adat itu sendiri.
Dalam berbagai urusan kesukuan Luhak Kepenuhan, ada suatu istilah kusoahkan atau kami soahkan. Ungkapan ini berarti apabila ada suatu urusan-urusan yang menjadi tanggung jawab bagi yang dilimpahkan.
Misalnya, apabila ada masalah pada Mato Buah Poik yang dilimpahkan dan tidak terselesaikan, maka akan diserahkan oleh Mato Buah Poik kepada Induk. Begitu yang terjadi seterusnya sampai pada Pucuk, jika permasalahannya dilimpahkan.
Yang Mengangkat Gelar
Au zubillahhiminassaitho nirrojim. Bismillah hirrohmanirrohim. Allahumma sholli ala Muhammad wa ala alihi waashabihi ajmaiin.
"Ooo..., Maih, Melayu, Moniliang, Pungkuik, Kandang Kopuh, Kuti, Jambak Kotapang, Kuai, Bono Ampu, Sianu (menyebut nama yang akan diangkat) pagi sianu potang kini dapek gola/kurnio/penghargaan dari sukunyo bogola.... (menyebutkan gelar). Siapo yang inok moimbau golanyo boutang kobou soikua, boeh soatuih, omeh dua puluh. Boiju noo... uwang banyak?"
Maka dengan serempak para hadiran yang hadir pada waktu itu menjawab, "lyooo...!"
Dalam adat Luhak Kepenuhan, ada empat Mamak yang sudah menjadi ketentuan untuk membacakan lafaz di atas dalam setiap pengangkatan dan pemberian gelar, kurnio, atau penghargaan yang diberikan oleh adat Luhak Kepenuhan. Adapun keempat mereka adalah sebagai berikut.
1. Mamak Montao Lelo dari Suku Melayu
2. Mamak Montao Mudo dari Suku Moniliang
3. Mamak Monti Montao
4. Mamak Monti Mudo
Pelaksanaan kegiatan ini tidak ditentukan waktunya, namun berdasarkan acara atau agenda yang disepakati baik oleh Induk, Tungkek, maupun Pucuk dalam suku nan sepuluh, begitu juga dalam lembaga. Mereka yang memegang posisi ini betul-betul dapat menghayati dan memaknai ucapan atau lafaz di atas secara baik dan memiliki aura atau penghayatan yang mendalam. Dengan begitu diharapkan jabatan yang disandang oleh yang mendapat jabatan adat juga dapat dilaksanakan tugasnya dengan baik.
Dubalang Nan Ompek
Dubalang Nan Ompek di Luhak Kepenuhan adalah sebagai berikut.
1. Joan Polawan dari Suku Moniliang
2. Paduko Samao dari Suku Kandang Kopuh
3. Majo Suamu dari Suku Melayu
4. Lelo Polawan dari Suku Mais
Adapun tugas dan wewenang Dubalang Nan Ompek adalah sebagai berikut.
Pengamanan lembaga
Pada zaman dahulu para dubalang adalah pasukan khusus kerajaan yang bertugas mengamankan kerajaan di Luhak Kepenuhan. Namun sejak bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), keberadaan dubalang dikembalikan ke Adat Luhak Kepenuhan dan pengaturannya sempurna dilaksanakan sejak Musyawarah Besar (MUBES) 1968 di kota Tengah.
Polotuih lelo
Pada bab khusus tentang lelo sudah disebutkan beberapa hai berkenaan dengan polotuih lelo ini, karena banyak yang perlu dipersiapkan dalam melaksanakan peletusan lelo menurut adat Luhak Kepenuhan. Berbagai nama di ataslah yang menentukan dalam adat untuk melaksanakannya. Jadi, di luar mereka ini tidak dibenarkan karena akan mendatangkan malapetaka sesuai dengan potatah potitih, ko ateh inok bo pucuk, ko bawah inok bouwek, dan di tongah giik kumang. Inilah sotie adat jika peletusan lelo dipaksakan dilaksanakan oleh orang selain yang sudah ditentukan.
Pengaturan silek
Banyaknya perayaan yang dilakukan di Luhak Kepenuhan yang selalu menggunakan permainan silat, seperti pernikahan, perlimauan, perayaan Idul Fitri, dan kegiatan lainnya. Mereka berempat disebutkan di ataslah yang ditugaskan oleh adat untuk menentukan dan mengatur permainan silat tersebut. Bahkan mereka termasuk yang ikut memperagakan silat tersebut untuk unjuk kebolehan, khusus pada seni bela dirinya.
Imam nan ompek
Hukum topogang di tongkodi (Hukum dipegang oleh ahli hukum). Potatah potitih ini memberikan pemahaman bahwa mereka yang empat itu adalah pemimpin dalam hal keagamaan, yaitu mengetahui hukum Islam. Di adat Luhak Kepenuhan keberadaan imam ini dipanggil dengan panggilan Tuan atau Tuan Guru. Posisi mereka di Balai Adat setara dengan Pucuk suku nan sepuluh.
Imam ini adalah tempat Datuk Bendahara Sakti, suku nan tujuh, Ompek Bosa di Balai atau Tigo Piak berkonsultasi di Balai Kerapatan Adat dalam hal keagamaan dan moralitas. Oleh karenanya lambang dari tunggul adat Imam Nan Ompefcberwarna putih melambangkan kesucian.
Secara seksama, yang menjadi wewenang dan tugas dari keempat iman tersebut adalah sebagai berikut.
Membahas masalah-masalah keagamaan
Pembawa doa dalam setiap kegiatan di seluruh tingkatan adat.
Masalah moral dan akhlak anak kemenakan
Ikut dalam pembahasan dan pelaksanaan kegaiatan berlimau dan hari ray a Idul Fitri serta Idul Adha.
Segala hal yang berkaitan dengan keagamaan
Adapun Imam Nan Ompek tersebut adalah:
Imam Majo Saih dari Suku Melayu
Imam Majo dari Suku Moniliang
Imam Zainuddin dari Suku Kandang Kopuh
Imam Jelano dari Suku Pungkuik
Bila nan ompek (bilal yang empat)
Dari penelusuran dan penelitian penulis tentang Bila Nan Ompek ini masih terdapat simpang siur keberadaannya dalam adat Luhak Kepenuhan. Ada yang menyatakan bahwa keberadaannya belum mendapat tempat dalam adat, bahkan tidak dikenal sama sekali. Namun ada juga keberadaannya disamakan dengan tugas Muazin atau Bang di setiap pelaksanaan sholat wajib. Mereka hanya memakai hukum logika bahwa kata bik itu sama dengan bilal.
Maka dari itu penulis juga dapat menemukan nama ompek bila yang ada, yaitu:
1. Bila Mudo
2. BilaRahman
3. Bila Mangkuto di Usau
4. Bila Polawan
Setelah ditelusuri, nama-nama tersebut belum mendapat kata sepakat bahwa bila belum masuk dalam jabatan di strukrur adat Luhak Kepenuhan. Namun tugasnya sesuai namanya adalah mereka membawakan Bang atau Azan dan Iqomat, serta memberikan selawat dalam pelaksanaan sholat Jumat, tarawih dan sebagainya. Mudah-mudahan masa mendatang dapat ditemui suatu kesepakatan akan keberadaan Bila Nan Ompek ini. Semoga.
Khotik nan ompek
Keberadan khotik hampir sama dengan bila. Kendati demikian keberadaannya masih menjadi perdebatan pada tingkat lembaga untuk membicarakannya. Dalam pengamatan penulis, seharusnya ini sudah menjadi suatu ketentuan yang dapat dipogang pakai (pedoman) di Luhak Kepenuhan.
Walau demikian, dari berbagai keterangan yang didapat di lapangan, ada beberapa nama khotik yang tercatat dalam buku ini, yaitu:
1. Khotik Majo (Kandang Kopuh)
2. Khotik Tani (Kandang Kopuh)
3. Khotik Palimo (Melayu)
4. Khotik Botuah (Mais)
5. Khotik Mudo (Mais)
k. Anak komonakan (anak kemenakan)
Olun disuuh olah poi, olun diimbau olah datang
Belum disuruh sudah pergi, belum dipanggil sudah datang
Anak kemenakan mendapat tempat pada posisi paling akhir dalam struktur adat, mulai dari Pucuk, Tungkek, Induk, Mato Buah Poik, dan anak kemenakan. Walaupun pada posisi tersebut, mereka ini adalah pioner dari sukunya, bahkan menjadi kebang-gaan atau sebaliknya. Mereka adalah cikal bakal dari proses regenerasi pada peralihan jabatan dalam adat Luhak Kepenuhan.
Proses pergantian jabatan adat tidak memandang umur atau usia, namun lebih melihat dari batua adat. Jika gilirannya sudah sampai maka hal itu menjadi sebuah ketentuan. Persoalannya adalah diterima atau diserahkan kepada batua yang lain dalam keluarga atau suku.
Tugas yang paling utama dari anak kemenakan adalah sebagaimana dikatakan potatah potitih, olun disuuh olah poi (belum disuruh sudah pergi). Hal ini mengandung makna tahu diri dan dapat mengerjakan segala yang menjadi tugasnya di mana pun dalam Induk dan suku yang dimilikinya. Anak kemenakan selalu aktif dan pro aktif terhadap pekerjaannya, sekalipun belum disuruh atau diperintah oleh Mamak Adat atau Datuk Adat, serta memiliki kepekaan dan ketajaman pemikiran. Sedangkan ungkapan, olun diimbau olah datang (belum dipanggil sudah datang) mengandung makna bahwa mereka argesif terhadap segala sesuatu yang akan dikerjakan atau segala sesuatu yang akan terjadi.
Jika ditinjau secara sepintas, mereka memiliki etos kerja, tanpa mengenal keluh kesah, dan selalu siap di mana pun posisi mereka. Tentunya untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dimaksud, bukan berarti menganggapnya seperti membalikkan telapak tangan, atau begitu mudah dapat mereka laksanakan.
Peran Mamak Hukum atau Induk Adat, sangatlah dominan sehingga anak kemenakan dapat berbuat dengan baik dan menjadikan mereka sebagai pioner dan kader yang unggul.
Meskipun demikian, tentu juga membutuhkan banyak waktu dan tenaga bagi Induk atau Mato Buah Poik dalam membinanya. Hal ini dapat dilihat sebagaimana telah disebutkan pada tugas Induk dan Mato Buah Poik.
Keharmonisan dalam menuntun dan membina ariak kemnakan amatlah penting bagi Induk dan Mato Buah Poik, selalu memberikan perhatian, pengawasan, bimbingan dan sebagamya. Dengan begitu diharapkan terbentuk secara keseluruhan terhadap pemikiran, pemahaman, pendalaman, kefasihan anak kemenakan dalam menjalankan aktivitasnya.
Penulis menemukan di lapangan bahwa, tahu akan arti adat dan tugas adatlah yang menjadi tujuan utama terhadap pembinaan secara berkelanjutan. Bukan berarti seluruh anak kemenakan dapat memahami yang telah disebutkan, namun ada juga beberapa yang acuh tak acuh terhadap adat, tapi amat sedikit.